Egoisme pria pada sebatang rokok

Jika seorang kepala keluarga adalah perokok, maka banyak ketidakadilan terjadi dalam rumah tangga. Hak hidup sehat anak dan istrinya terganggu oleh sebab paparan asap racun nikotin dan tergerusnya anggaran belanja pangan. Ulasan video berikut menandai momen Hari Tanpa Tembakau Sedunia (31 Mei).

Bogor (Rumah Simbah)-Indonesia sering menempati posisi ranking tertinggi di dunia dalam banyak hal negatif, termasuk jumlah pria perokok aktif yang mencapai 73,2 persen pada tahun 2025.

Sebagai bahan renungan di momen Hari Tanpa Tembakau Sedunia hari ini (31 Mei), berikut sejumlah fakta mengenai rokok di Indonesia:

  • Rokok menjadi pengeluaran terbesar kedua setelah beras, dengan proporsi 11,9 persen di perkotaan dan 11,2 persen di perdesaan.
  • Belanja rumah tangga untuk rokok bisa mencapai Rp 382.000 per bulan, lebih tinggi dari pengeluaran untuk membeli makanan bergizi, menurut data Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021.  
  • Masyarakat miskin lebih memilih membeli rokok ketimbang makanan sehat bagi anggota keluarganya.
  • Biaya kesehatan akibat penyakit terkait rokok (PTR) sekitar Rp 39,5 triliun dalam setahun, setara 30 persen dari keseluruhan biaya yang dikeluarkan Askes.
  • Angka kematian akibat rokok mencapai 437.923 per tahun, sebagian besar disebabkan oleh penyakit kardiovaskular, kanker paru-paru, penyakit pernapasan kronis, dan penyakit lain yang terkait dengan tembakau.

Ketika perokok itu adalah seorang kepala keluarga berpenghasilan rendah maka akan menggerus anggaran belanja rumah tangga hingga terganggunya hak anak terhadap akses makanan bergizi.

Kementerian kesehatan sampai mengeluarkan imbauan agar seorang ayah perokok menukar sebatang rokok dengan sebutir telur demi memenuhi kebutuhan protein anaknya.

Selain mengganggu belanja pangan, pria perokok juga menimbulkan risiko anggota keluarga terpapar asap racun nikotin.

Perokok pasif yang turut menghirup asap tembakau sama berbahayanya dengan perokok aktif. Bedanya, perokok aktif akan terjangkit penyakit oleh perilakunya sendiri, sedangkan perokok pasif bisa menderita sakit akibat perbuatan orang lain. Sungguh tidak adil, bukan?

Banyak ketidakadilan terjadi dan konflik tersulut dalam rumah tangga oleh sebab kepala keluarga menjadi pencandu tembakau.

Sementara industri rokok melahirkan banyak konglomerat karena bisnis racun nikotin memberi keuntungan besar bagi mereka.

Ada yang menjadi kaya raya dari usaha produk tembakau, ada yang menderita karena menggemari rokok. Sampai di sini sudah terlihat siapa yang merugi?

Sebagai peringatan, angka kematian akibat penyakit terkait rokok telah mencapai sekitar 438 ribu per tahun.

Maka tidak usah berseloroh,”kalau berhenti merokok nanti kasihan pabriknya bisa tutup” karena masyarakat melarat tidak berkewajiban menolong para konglomerat! (Siz)

Kepala keluarga yang perokok akan mengurangi hak anak mendapatkan makanan bergizi.(Rumah Simbah/Maylo)
Jumlah kematian akibat penyakit terkait rokok mencapai 438 ribu per tahun. (Rumah Simbah/Maylo)

Leave a Reply