Suasana pelayanan lapor SPT Tahunan Pajak di Kantor Pajak Pesanggrahan, Jakarta Selatan (21/3). (Rumah Simbah/Siz)
Kalian yang kerap merutuk karena harus melapor SPT tahunan pajak, jangan sedih karena mungkin sebagian besar orang juga merasa begitu. Kita yang membayar pajak, kita juga yang harus repot melapor. Kok bisa? Nyatanya seperti itu. Video berikut, barangkali dapat mewakili aspirasimu:
Bulan Maret bisa kita sebut sebagai bulan Pajak. Karena di bulan ini kita memiliki kewajiban melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak.
Banyak yang masih kesulitan untuk mengisi laporan secara daring karena untuk masyarakat awam terasa agak rumit. Sehingga mereka memilih untuk mendatangi kantor-kantor pajak untuk menyelesaikan kewajiban melapor.
“Kita yang membayar, Kita juga yang harus repot melapor” barangkali slogan itu relevan untuk rutinitas tahunan warga masyarakat melaporkan SPT Pajak. Meski sembari menggerutu tapi mau tidak mau mereka harus melakukannya karena bila tidak ada ancaman dendanya.
Denda keterlambatan melapor SPT Tahunan Pribadi sebesar Rp100.000, sedangkan untuk Badan senilai Rp1.000.000. Itu denda telat lapor, dalam pembayaran pajak juga ada denda keterlambatan bayar berupa bunga sebanyak dua persen setiap bulan dari pajak yang belum dibayar.
Pajak adalah iuran untuk kas negara yang dipaksakan berdasarkan undang-undang. Namun alangkah baiknya bila warga negara memberikannya dengan kerelaan dan senang hati.
Bagaimana agar masyarakat tidak merasa terpaksa dan disertai merutuk dalam membayar pajak. Setidaknya ada dua syarat, bahwa hasil pajak dikelola secara amanah dan dikembalikan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan warga sehingga terasa manfaatnya.
Selama pajak masih banyak diselewengkan dan birokrasi rawan pungli, mungkin kepatuhan kita terhadap kewajiban pajak hanya taat semu.(Siz)
