“Ketika beragama mengutamakan gaya maka kecenderungannya malah kehilangan makna”
Simbah mungkin salah satu orang yang paling ikut gembira ketika Tahun Baru Hijriah dirayakan secara meriah.
Tapi bila biaya perayaannya berasal dari segala kelimpahan harta umat atau kerelaan masyarakat menyumbang karena rezeki berlebih, bukan keterpaksaan.
Akan menjadi ironi, ketika sebuah kampung merayakan tahun baru dengan panggung semarak, di tengah warga yang kurang sejahtera. Masih ada pencuri, penjudi, pengguna narkoba, yatim piatu dan janda yang belum berdaya, serta banyak warga terlilit utang rentenir dan pinjaman online (pinjol).
Apa makna pesta di atas fakta warga yang demikian?
Apakah tidak lebih bermanfaat jika dana untuk perayaan digunakan untuk anggaran pemberdayaan masyarakat yang lebih berkelanjutan? Ketimbang membuang-buang uang dengan pesta petasan berharga jutaan.
Kehidupan beragama memang perlu syiar demi citra positif Islam yang semarak. Pada bagian lain, keberadaan warga kurang sejahtera yang menjadi tanggung jawab sosial kita bersama justru bisa mencoreng citra umat dan menjadi wajah buruk pemeluknya.
Masyarakat pada umumnya masih beragama layaknya level pemula, walau telah memeluk Islam sejak lahir. Mereka hanya beribadah di wilayah seremoni dan syari’ah, belum menyentuh ajaran yang lebih substansial. Pantas saja, perlombaan yang berlangsung dalam praktik beragama lebih banyak gaya ketimbang makna.
Seperti umumnya wanita mengira menutup aurat sekadar mengenakan sehelai kain penutup kepala. Tren yang kemudian merebak hanya adu cantik dengan bermacam model jilbab kekinian.
Padahal aurat sosial (di luar sholat) lebih mengarah pada sesuatu yang berbau keseksian hingga menimbulkan syahwat lawan jenis. Tanpa pemahaman ini, kita saksikan betapa banyak wanita berjilbab (bersuami) hobi swafoto dengan senyum yang dimanis-maniskan atau berjoget-joget depan kamera ala aplikasi berbagi video pendek, dan itu diunggah ke jejaring sosial yang merupakan ranah publik. Kalian pikir pose-pose menggoda itu bukan “aurat”? Bisa jadi senyum manis dan jogetan kalian lebih “aurat” ketimbang rambut mulai beruban yang dalam keseharian ditutup rapat.
Hal lain yang salah kaprah, seperti tradisi bersilaturahmi dengan membawa buah tangan untuk tuan rumah. Memang itu bagus, tapi bila keinginan silaturahmi ke saudara atau teman jadi urung hanya gara-gara malu tidak membawa oleh-oleh, apakah tidak merugi? Esensinya silaturahmi, aksesorinya buah tangan (oleh-oleh). Karena mementingkan aksesori kehilangan esensi, yang benar saja.
Ketika beragama mengutamakan gaya maka kecenderungannya malah kehilangan makna!