Ternyata ada praktik diskriminasi profesi oleh perbankan

Barangkali belum banyak yang tahu bahwa dalam layanan kredit oleh perbankan rupanya ada praktik diskriminasi terhadap beberapa profesi tertentu. Setidaknya 3 jenis profesi yang dikecualikan adalah: polisi, pengacara dan wartawan. Terhadap ketiganya, beberapa bank memberlakukan syarat yang lebih ketat untuk proses pengajuan kredit, karena dianggap sering membuat masalah dalam pembayaran atau pelunasan.

Syarat dan ketentuan yang diberlakukan pada debitur dengan latar belakang tiga profesi tersebut memang tidak dipublikasikan secara terang-terangan, namun para staf pemasar fasilitas kredit memegang “peraturan” tidak tertulis itu.

Pengalaman tidak mengenakkan itu setidaknya dialami seorang jurnalis senior (IM) dari sebuah perusahaan media nasional yang berkantor di Jakarta Pusat. Ia yang mengajukan kredit mobil di diler mobil Jepang di Jalan Soleh Iskandar Bogor, sempat mengalami penolakan dari seorang pemasar M**bank (Rick) yang bermitra dengan diler tersebut.

Menurut pemasar diler mobil (Cath), alasan penolakannya karena pemohon kredit berprofesi wartawan. Hal itu diketahui dalam kelengkapan berkas pengajuan kredit, selain KTP pemohon juga melampirkan kartu identitas berupa ID Card wartawan.

IM yang merasa terhina karena penolakan tak masuk akal itu meminta penjelasan Cath mengapa bisa demikian. Menurut Cath, perbankan memberlakukan pengecualian terhadap polisi, pengacara dan wartawan dalam meloloskan pengajuan kredit.

Konon, perbankan sering mengalami masalah ketika menghadapi debitur dari ketiga profesi itu. Mereka dianggap kebal hukum dan melakukan perlawanan ketika kreditnya bermasalah, hingga perbankan kerap mengalami kekalahan dalam gugatan. Begitu cerita versi Cath.  

Itu alasan dari satu pihak, M**bank, yang barangkali pernah mengalami kredit macet atau semacamnya dengan debitur (yang kebetulan) seorang polisi, pengacara, atau wartawan.

Namun apakah adil bila kemudian ketiga profesi itu lantas didiskreditkan untuk selamanya tanpa pandang bulu. Sementara banyak juga polisi, pengacara, atau wartawan yang memiliki sepak terjang dan perilaku mulia, berdedikasi pada profesi, dan mengabdi pada urusan kemanusiaan.

Apakah boleh digeneralisasi seperti itu, hanya karena satu dua kasus lantas keseluruhan orang dengan profesi itu dimasukkan ke dalam daftar hitam?

Padahal setiap orang _apapun profesinya_ bisa ditelisik rekam jejak dan profil reputasi keuangannya. Dalam proses pengajuan kredit juga ada tahapan survei yang dapat menilai kemampuan ekonomi si calon debitur, bagaimana i’tikad baiknya, adakah potensi “kriminal” dan lain sebagainya. Seharusnya, disetujui atau tidaknya permohonan kredit berdasarkan penilaian obyektif dari berbagai indikator tersebut, bukan sentimen profesi.  

Seperti contoh kasus IM ini, dia mengajukan kredit dengan data sebagai berikut:

  • Memiliki persiapan pembayaran uang muka 50% lebih, dari harga kendaraan
  • Memilih tenor 3 tahun dengan besaran cicilan (hanya) 25% dari gaji bulanan (di luar pemasukan lain-lain)
  • Memiliki tanah dan bangunan rumah permanen hak milik sendiri senilai hampir Rp1 miliar.
  • Memiliki tabungan emas senilai lebih dari 3X gaji
  • Memiliki rata-rata saldo tabungan sebesar 3X gaji
  • Tidak sedang memiliki utang atau cicilan di tempat lain
  • Bersih dari BI Checking.

Menurut Chat, yang sudah biasa memproses berkas calon pembeli, data keuangan IM ini sangat sehat sebagai calon debitur, namun iapun tidak bisa menolong karena kebijakan bank yang menjadi mitranya.

Chat kemudian menawarkan kepada IM untuk mengalihkan pengajuan kredit ke bank lain yang lebih fleksibel, bank B**.  

Mengenai adanya kebijakan diskriminatif terhadap 3 profesi itu juga dibenarkan oleh seorang staf appraisal bank B** kantor cabang Bogor (Goz) yang melakukan survei ke rumah IM. Ketika IM ingin mewawancarai manajer (atasan) Goz, untuk konfirmasi terkait kebijakan yang dinilai aneh itu, hanya dijanjikan nanti dan nanti, yang pada akhirnya tidak terlaksana.

Goz yang telah berkesempatan mengenal IM secara pribadi berkat beberapa kali kunjungan ke rumahnya, memberikan rekomendasi persetujuan permohonan kredit. Dan hingga 3 tahun berjalan kredit tersebut lancar tanpa ada masalah sedikitpun. Kini IM dan Goz malah sudah berkawan baik layaknya keluarga.

Seandainya Rick dari M**bank sempat mengenal IM secara personal, apakah ia bisa setegas itu menolak pengajuan kreditnya? Padahal IM pribadi yang sangat bersih dari skandal keuangan. Jangankan bermasalah dalam kredit, pria 50an tahun asal Semarang itu, saat pulang kampung pernah makan soto di sebuah rumah makan, namun di depan kasir ia lupa menyebut 2 krupuk yang telah dimakannya bersama soto.

Dia baru teringat setelah tiba di Jakarta, lalu IM menelpon saudaranya di Semarang dan meminta tolong datang ke rumah makan itu untuk membayar 2 krupuk yang khilaf belum dia bayar. Karena ia menjaga betul segala apa yang dimakan dan digunakan dipastikan bersih dan halal baginya.

Sayang, Rick tak mengetahui hal itu, sehingga ia kehilangan rezeki dari calon debitur yang tak sepantasnya dia tolak.(Siz)  

2 Comments

Leave a Reply