Maling itu mengembalikan barang curiannya

Sekira jam setengah sepuluh malam kemarin, seorang pemuda tanggung bertubuh kurus dan agak lusuh sedikit basah oleh air rintik hujan, datang ke dapur rumahku. Di depan pintu, di hadapanku, seraya menunduk ia berkata lirih:”Maaf bu, saya salah, ini saya kembalikan”.

Hari itu aku baru mau masak makan malam jam delapan lewat, dan dibuat terkejut lagi karena tabung gas di dapur hilang untuk kesekian kalinya. Padahal sore tadi sebelum maghrib aku masih menggunakan kompor dengan tabung gas itu untuk membuat kudapan sore, pisang bakar.

Artinya tabung gas itu raib antara waktu Maghrib hingga setelah Isya’. Emosi sedikit bergejolak karena maling ini terkesan menantang. Bagaimana tidak, penghuni sedang berada di dalam rumah dengan semua lampu menyala terang termasuk di area dapur, terdapat kamera pengawas di belakang rumah, dan hari masih terbilang “sore”, tapi dia berani beraksi. Menurutku, sebuah keberanian yang agak konyol.

Kejadian kemalingan di dapurku yang memang berdesain semi terbuka itu, bukan pertama kalinya. Sudah terjadi empat kali, dengan sasaran kompor dan tabung gas. Pernah satu kali hanya meninggalkan jejak karena tabung gas kami simpan di dalam rumah.

Aku tanya ke beberapa tetangga, tersebutlah satu nama yang terduga kuat sebagai pelakunya. Bukan hanya ke rumahku, dia juga beraksi ke sejumlah rumah tetangga dengan sasaran yang sama, tabung gas.

Terduga berinisial LG ini tinggal di belakang rumahku mungkin berjarak 200an meter melewati hamparan kebun. Aku bermaksud mau datang ke rumah LG tapi suamiku (AR) melarang keras karena dia khawatir akan terjadi keributan.

Kutelpon Pak RT, setelah menjelaskan apa yang terjadi, aku memintanya untuk menemani datang ke rumah LG. Semula Pak RT ragu, tapi aku meyakinkannya bahwa aku hanya akan melakukan shock therapy terhadap pelaku, bukan untuk melabrak.

Kami bertiga pergi ke rumah LG, Pak RT mengetuk pintu rumahnya, yang nongol istrinya. Kuucap salam, kuajak kenalan, lalu bertanya:

Aku: “Suamimu ada?”

Sil**: “Tidak ada bu, lagi keluar ke warung. Ada apa?”

Aku: “Gak papa, banyak tetangga menyebut nama suamimu, jadi aku penasaran pengin kenalan. Tadi abis maghrib suami kamu ke mana?”

Sil**: “Ada di rumah, lagi sakit kepala”.

Aku: “Oh…ya sudah, aku tunggu suamimu datang ya”.

Kami menunggu di luar rumah beberapa saat, hingga 15an menit tidak juga ada tanda-tanda si LG pulang.

Aku panggil lagi istrinya,”Teh…nanti kalau suami kamu datang, tolong sampaikan salam dari aku, suruh dia main ke rumah ya, aku tunggu. Kamu juga, kalau misal ada kesulitan apa-apa datang ke rumah ya, barangkali aku bisa bantu”.

Sesampai di rumah aku melanjutkan rencana memasak yang tadi sempat tertunda. Sekitar 30 menit kemudian, ada sesosok pemuda (20an tahun) membuka pintu pagar belakang, tubuhnya terguyur gerimis, melangkah ke arah pintu dapur dengan kedua tangan menenteng tabung gas.

Kalimat pertama yang meluncur dari bibirnya adalah permintaan maaf dan pengakuan salah, dengan gestur tubuh agak gugup.

Sontak hasratku untuk menggamparnya langsung hilang, berubah rasa belas kasihan yang tetiba muncul.

Aku: “Kenapa kamu ambil itu?”

LG: “Maaf bu, abis saya bingung, anak saya minta jajan”.

 AR: “Kamu sudah makan?”

LG: “Sudah pak”.

Aku: “Tunggu ya…”

Aku masuk ke rumah untuk mengambil sejumlah uang dari dalam kamar, lalu kutemui dia lagi yang masih berdiri di sana.

Aku:”Ini buat jajan anakmu”.

LG:”Jangan bu, saya gak mau, saya sudah buat salah, masa’ malah dikasih uang”.

Aku: “Udah gak papa, kamu butuh uang kan. Lain kali kalau ada kesulitan cerita ya, aku akan bantu. Aku lebih senang bisa menolong daripada kamu harus nyolong”.

Begitulah sepenggal drama di dapurku tadi malam. Sepulang LG dari rumah, rasanya aku ingin menampar mukaku sendiri, bagaimana bisa ada tetangga yang sangat dekat, hidup dalam kekurangan dan aku tidak mengetahuinya.

Mungkin aku mainnya sering kejauhan hingga yang dekat malah luput dari jangkauan. Semoga Tuhan mengampuni kelalaianku.*

Leave a Reply