Cabai, si pemicu inflasi

Sudah seberapa sering kita dipermainkan oleh harga cabai yang kadang di musim dan momen tertentu harganya sampai tak masuk akal. Tapi di lain waktu, tiba-tiba harganya jatuh, yang membuat kita iba terhadap petani yang menanamnya.

Harga terlalu mahal kita keberatan, tapi bila terlalu murah juga kasihan pada petani cabai. Cabai sebagai salah satu komoditas pangan ini tak jarang menjadi pemicu inflasi di berbagai daerah di Indonesia. Mahalnya harga cabai bisa dipengaruhi oleh cuaca yang mengakibatkan gagal panen, rantai pasok yang panjang hingga menjumpai banyak pungli di perjalanan, hingga permainan tengkulak atau mungkin juga mafia pangan.

Mengapa kita mau saja dipermainkan oleh harga pangan khususnya bumbu pemedas masakan ini? Padahal kita bisa hadirkan keberadaannya di pekarangan rumah. Menanam cabai tidak harus memiliki lahan luas, di pojok halaman belakang bahkan di pot atau polybag pun jadi.

Tak perlu menunggu terlalu lama, hanya beberapa bulan sejak menanam bibit, kemunculan buah cabai sudah bisa kita jumpai. Bibitnya juga tidak perlu membeli secara khusus, sisa cabai yang kita punya di dapur lempar saja ke tanah, akan tumbuh bibit cabai setelahnya. Begitu mudahnya.

Memanen cabai dari pekarangan rumah sendiri, bukan hanya tentang berhemat karena tidak harus membeli. Ada hal lain yang lebih mahal dari itu, saat memetik sesuatu dari apa yang ditanam sendiri, kita akan memanen kegembiraan.

Apalagi bagi kamu yang selama ini dicap sebagai “si tangan panas” yang dianggap tidak berbakat dalam hal bercocok tanam, maka bisa berhasil menanam dari benih hingga berhasil tumbuh dan berbuah menjadi capaian yang memuaskan batin.

Namun adakalanya, merasa sayang untuk memetik hasil tanaman sendiri, dan kita rela tetap membeli di warung demi bisa menikmati pemandangan hamparan buah cabai di pekarangan.