Mengkhawatirkan Bali

Bali tampak indah.
Tapi tak semua yang indah sedang baik-baik saja.

Badung, Bali (Rumah Simbah) – Bali sedang ramai. Bahkan terlalu ramai. Di sejumlah wilayah, laju pembangunan terasa begitu cepat. Vila-vila tumbuh nyaris lebih gesit daripada pohon.

Kafe, pusat kebugaran, dan tempat hiburan berdiri berdempetan, seolah ruang tak lagi mengenal batas cukup.

Pariwisata memang membawa uang. Ia menggerakkan ekonomi, membuka lapangan kerja, dan menghidupkan banyak sektor. Namun bersamaan dengan itu, pariwisata juga membawa beban yang tak kecil.

Lahan kian menyempit. Sumber air mengalami tekanan. Ruang hijau perlahan menghilang, tergeser bangunan-bangunan yang tak pernah benar-benar tidur.

Yang berubah bukan hanya alam. Manusianya ikut menyesuaikan.

Gaya hidup masyarakat lokal mulai bergeser. Cara berpakaian, cara bersosialisasi, bahkan cara memandang diri sendiri pelan-pelan dipengaruhi arus luar.

Di beberapa titik, upacara adat yang semestinya menjadi ruang spiritual dan kebersamaan, berubah menjadi ajang pamer kemeriahan dan penanda kelas sosial.

Bali sejatinya tidak pernah menolak tamu. Sejak dulu, pulau ini dikenal terbuka dan ramah terhadap pendatang.

Yang menimbulkan kekhawatiran adalah ketika pembangunan melaju tanpa jeda, tanpa rem, dan tanpa keseimbangan.

Ketika pertumbuhan lebih dipentingkan daripada keberlanjutan. Ketika angka-angka ekonomi mengalahkan daya dukung alam dan budaya.

Pariwisata semestinya menghidupi, bukan menghabisi. Menopang kehidupan, bukan menggerus identitas.

Pertanyaannya pun menjadi sederhana, namun mendasar: apakah Bali sedang dibangun, atau justru sedang dihabiskan perlahan?(Red.)

Leave a Reply