Bersyukur tanpa syarat

“Misal ada yang mau menukar sepasang kakimu dengan Rubicon, maukah?”

Banyak orang baru merasa bersyukur setelah melihat kondisi orang lain yang lebih buruk. Seperti tatkala menyaksikan berita bencana, kita bersyukur tidak tinggal di lokasi itu sehingga bukan merupakan korban. Atau merasa bersyukur atas kesehatan setelah berkunjung ke rumah sakit dan melihat banyak pasien di sana. Bisa juga bersyukur atas kecukupan harta begitu menyaksikan kehidupan mengenaskan mereka yang tak berpunya.

Bisa tidak, kita bersyukur saja tanpa menunggu ada perbandingan keadaan yang lebih jelek. Sesungguhnya tersedia banyak alasan untuk setiap hari kita bersyukur kepada Yang Maha Kuasa. Manakala bangun tidur, bersyukur bahwasanya kita masih bisa bernapas, jantung berdetak normal tanpa menggunakan bantuan peralatan medis, menghela udara secara gratis sepuasnya, mata menyaksikan hijau dedaunan di pekarangan rumah, telinga mendengar kicauan burung yang hinggap di pepohonan, tangan mampu memegang, kaki sanggup berjalan. Misal ada yang mau menukar sepasang kakimu dengan Rubicon, maukah?

Bayangkan, bila Tuhan mencabut beberapa saja kemampuan dan fungsi tubuhmu, apalah dayamu. Sepertinya kita sering sombong (seolah) merasa bisa sendiri, padahal itu berkat kekuatan yang diberikan Sang Pencipta.

Lantas, atas dasar apa kita tidak berterima kasih atas semua pemberian itu. Apa menunggu ada orang lain yang lebih menderita dan celaka, baru tergugah untuk bersyukur?

Barangkali bisa digambarkan seperti ini. Kamu tiap hari memberi makan pada orang kelaparan tetapi orang itu tidak antusias menerimanya, tidak pula berterima kasih atas pemberian tersebut, apa kamu masih akan dengan senang hati memberi makan orang yang tidak tahu diri itu?

Begitulah manusia pada umumnya, sering tidak tahu berterima kasih atas banyak karunia yang tiap hari dinikmati secara cuma-cuma.

Beruntung, Tuhan tidak “baperan” seperti kita, coba kalau Dia ngambek dan berhenti memberi.*  

Leave a Reply