Pawon
Ruang petualang boga & isu
seputar dapur
Bernostalgia dengan masakan tradisional di Omah Simbah
Resto ini sengaja kami ulas untuk tayangan perdana karena nama kita yang serupa. Omah Simbah Resto, berada di kawasan Grand Depok City (GDC) Jawa Barat, hadir menawarkan sajian tradisonal ala Jawa yang membuat kalian serasa bernostalgia dengan masakan Simbah.
Sempat berpikir, apa tidak sebaiknya kami bermitra saja ya, Rumah Simbah dan Omah Simbah. Rumah Simbah memberi nutrisi untuk otak, Omah Simbah untuk asupan isi perut. Coba, menurut kalian bagaimana?
Omah Simbah menghidangkan sajian di antaranya sayur lodeh, ayam lodho, gulai kepala ikan manyung, tumis bekicot (ini langka), dan banyak lagi jenis sayur serta lauknya. Ada pula menu sarapan ndeso seperti awug-awug, apem, dan tersedia kopi hitam dengan cangkir jadul motif blirik. Bermacam kopi bubuk dengan merk yang mungkin jarang ada di pasaran, dijajakan juga di sebuah rak di samping deretan meja makan tamu.
Suasana nostalgia lebih terasa lagi ketika kita menikmati interior resto beserta barang-barang lawas yang dipajang di ruang belakang. Terdapat sepeda motor, pesawat radio, televisi, mesin ketik, setrika arang, timbangan dan lain-lain.
Soal pelayanan, baik pemilik dan pelayannya ramah-ramah, dengan rasa makanan enak serta harga yang terbilang murah untuk kelas resto. Mbah dan Akung waktu itu makan di sana berdua, menu sarapan, kopi hitam, dan bungkus sayur lodeh 2 macam, total tidak sampai Rp100 ribu.
Menurutku itu harga yang pantas untuk menikmati makan serasa di rumah nenek. Nostalgia yang berharga untuk masyarakat urban.
Cabai, si pemicu inflasi
Sudah seberapa sering kita dipermainkan oleh harga cabai yang kadang di musim dan momen tertentu harganya sampai tak masuk akal. Tapi di lain waktu, tiba-tiba harganya jatuh, yang membuat kita iba terhadap petani yang menanamnya.
Harga terlalu mahal kita keberatan, tapi bila terlalu murah juga kasihan pada petani cabai. Cabai sebagai salah satu komoditas pangan ini tak jarang menjadi pemicu inflasi di berbagai daerah di Indonesia. Mahalnya harga cabai bisa dipengaruhi oleh cuaca yang mengakibatkan gagal panen, rantai pasok yang panjang hingga menjumpai banyak pungli di perjalanan, hingga permainan tengkulak atau mungkin juga mafia pangan.
Mengapa kita mau saja dipermainkan oleh harga pangan khususnya bumbu pemedas masakan ini? Padahal kita bisa hadirkan keberadaannya di pekarangan rumah. Menanam cabai tidak harus memiliki lahan luas, di pojok halaman belakang bahkan di pot atau polybag pun jadi.
Tak perlu menunggu terlalu lama, hanya beberapa bulan sejak menanam bibit, kemunculan buah cabai sudah bisa kita jumpai. Bibitnya juga tidak perlu membeli secara khusus, sisa cabai yang kita punya di dapur lempar saja ke tanah, akan tumbuh bibit cabai setelahnya. Begitu mudahnya.
Memanen cabai dari pekarangan rumah sendiri, bukan hanya tentang berhemat karena tidak harus membeli. Ada hal lain yang lebih mahal dari itu, saat memetik sesuatu dari apa yang ditanam sendiri, kita akan memanen kegembiraan.
Apalagi bagi kamu yang selama ini dicap sebagai “si tangan panas” yang dianggap tidak berbakat dalam hal bercocok tanam, maka bisa berhasil menanam dari benih hingga berhasil tumbuh dan berbuah menjadi capaian yang memuaskan batin.
Namun adakalanya, merasa sayang untuk memetik hasil tanaman sendiri, dan kita rela tetap membeli di warung demi bisa menikmati pemandangan hamparan buah cabai di pekarangan.
Cabai, si pemicu inflasi
Cabai, si pemicu inflasi Sudah seberapa sering kita dipermainkan oleh harga cabai yang kadang di musim dan momen tertentu harganya sampai tak masuk akal. Tapi